Keindahan palembang
Jumat, 25 Mei 2012
BENTENG KUTO BESAK
Benteng Kuto Besak Palembang
Posted by
Bari Palembang
|
Sunday, February 26, 2012
Benteng Kuto Besak | BKB Palembang | Budaya | Palembang | Tempat Nongrong di Palembang | Wisata Sejarah
Benteng Kuto Besak | BKB Palembang | Budaya | Palembang | Tempat Nongrong di Palembang | Wisata Sejarah
tempat Nongkrong Favorite di Palembang
Benteng Kuto Besak atau lebih dikenal dengan nama BKB pada saat ini, adalah salah satu potret dari perjalanan sejarah kota palembang yang masih tegak berdiri di kota palembang, boulevard atau taman terbuka menghiasi pemandangan depan dari benteng kuto besak membentang luas sepanjang pagar depan dari benteng yang melindungi kesultanan palembang darussalam pada masa dahulu, taman terbuka yang sangat indah bila disaksikan pada malam hari ini, menjadi salah satu tempat nongkrong favorite bagi anak-anak muda di kota palembang.letak benteng kuto besak yang strategis tepat di tengah jantung kota palembang makin menambah nilai lebih tempat ini, ditambah lagi pemandangan jembatan ampera yang dapat kita nikmati saat berada di taman benteng kuto besak, menambah keindahan dari benteng kuto besak. event-event besar di kota palembang sangat sering di adakan di taman benteng kuto besak, semisal event perayaan tahun baru, konser-konser musik. karna taman benteng kuto besak yang terbilang luas dapat menampung ribuan orang.
Sejarah Benteng Kuto Besak
4 bulan kemudian antara tanggal 21-30 oktober 1819, Belanda Kembali Membawa Pasukannya untuk menggempur Palembang, dipimpin langsung oleh Panglima Angkatan Laut Hindia Belanda JC Wolterbeek, dengan Armada dan Pasukan yang berlipat ganda, akan tetapi lagi-lagi Belanda tidak bisa menembus dinding dari Benteng Kuto besak. dan lagi Palembang mendapatkan kemenagan yang Gemilang.
AMPERA
ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan
Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente
Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq
de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha
untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir,
bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah
terealisasi.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan
Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu,
disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi
yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober
1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di
Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp
30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri
atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar,
dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.
Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.[1]
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.[2]
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara.[3] Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).[4]
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.[1]
Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.[1]
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.[2]
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara.[3] Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).[4]
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.[1]
Langganan:
Postingan (Atom)