Jumat, 25 Mei 2012

Pulau Kemaro

Pulau Kemaro terletak di daerah Sumatera Selatan, tepatnya di tengah sungai Musi yang membelah kota Palembang. Kemaro sendiri merupakan bahasa Palembang, yang berarti kemarau. Menurut masyarakat Palembang, dinamakan pulau Kemaro karena pulau ini tidak pernah digenangi air. Walaupun volume air di sungai Musi meningkat, Pulau Kemaro tetap saja kering. Karena keunikan inilah, masyarakat sekitarnya menjulukinya sebagai Pulau Kemaro.


Pulau Kemaro terletak di sebuah delta yang berada di tengah-tengah sungai Musi, sekitar 5 km arah hulu. Di dalam pulau ini terdapat sebuah makam yang diyakini sebagai makan dari Putri Sriwijaya Siti Fatimah yang menceburkan diri ke Sungai Musi.


Menurut cerita, pada zaman dahulu seorang putri dari raja Sriwijaya bernama Siti Fatimah dilamar oleh putra raja dari negeri Tiongkok bernama Tan Bun Ann. Raja Sriwijaya ini mengajukan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Tan Bun Ann. Persyaratannya adalah Tan Bun Ann harus menyediakan 9 guci berisi emas. Keluarga Tan Bun Ann pun menerima syarat yang diajukan itu. Untuk menghindari bajak laut, emas yang berada di dalam guci-guci itu dilapisi sayur-mayur oleh keluarga tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann.

Pada suatu hari rombongan Tan Bun Ann tiba dari Tiongkok dengan 9 guci emas yang telah dijanjikan. Namun, setelah diminta menunjukkan isi gucinya oleh raja Sriwijaya, Tan Bun Ann terkejut karena melihat sayur mayur di dalam 9 guci yang dibawanya. Karena kaget dan marah, tanpa memeriksa terlebih dahulu, Tan Bun Ann langsung melemparkan guci-guci tersebut ke dalam Sungai Musi. Tetapi pada guci yang terakhir, terhempas pada dinding kapal dan pecah berantakan, sehingga terlihatlah kepingan emas yang berada di dalamnya.


Rasa penyesalan yang membuat Tan Bun Ann mengambil keputusan tak terduga, ia menceburkan diri ke dalam Sungai Musi. Melihat kejadian tersebut, Siti Fatimah ikut menceburkan diri ke sungai, sambil berkata, “Bila suatu saat ada tanah yang tumbuh di tepi sungai ini, maka di situlah kuburan saya.” Dan ternyata benar, tiba-tiba dari bawah sungai timbul gundukan tanah yang akhirnya sekarang menjadi pulau Kemaro ini.


Apabila kita berkunjung ke pulau Kemaro, akan didapati tiga buah gundukan tanah yang menyerupai batu karang, dimana setiap gundukan diberi semacam atap dari kayu dan diberi batu nisan dengan tulisan Tiongkok yang didominasi warna merah. Menurut cerita, gundukan tanah yang di tengah adalah makam sang putri. Sedangkan dua gundukan tanah yang ada di sebelanya merupakan makam ajudan dari pangeran Tiongkok dan dayang kepercayaan sang putri. Hingga kini makam-makam tersebut masih terawat baik sebagai legenda pulau Kemaro.

Pulau ini akan ramai di datangi oleh para pengunjung etnis cina baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Cina dan beberapa negara lainnya terutama pada saat Cap Go Me (15 hari setelah Imlek) , dan di sana ada sebuah pohon langka yang di sebut pohon cinta dimana apa bila pasangan muda-mudi yg berpacaran apabila mengukir nama mereka konon cinta mereka akan berlanjut ke pelaminan.

BENTENG KUTO BESAK


Benteng Kuto Besak Palembang

| Sunday, February 26, 2012
| | | | |

tempat Nongkrong Favorite di Palembang

Benteng Kuto Besak atau lebih dikenal dengan nama BKB pada saat ini, adalah salah satu potret dari perjalanan sejarah kota palembang yang masih tegak berdiri di kota palembang, boulevard atau taman terbuka menghiasi pemandangan depan dari benteng kuto besak membentang luas sepanjang pagar depan dari benteng yang melindungi kesultanan palembang darussalam pada masa dahulu, taman terbuka yang sangat indah bila disaksikan pada malam hari ini, menjadi salah satu tempat nongkrong favorite bagi anak-anak muda di kota palembang.

letak benteng kuto besak yang strategis tepat di tengah jantung kota palembang makin menambah nilai lebih tempat ini, ditambah lagi pemandangan jembatan ampera yang dapat kita nikmati saat berada di taman benteng kuto besak, menambah keindahan dari benteng kuto besak. event-event besar di kota palembang sangat sering di adakan di taman benteng kuto besak, semisal event perayaan tahun baru, konser-konser musik. karna taman benteng kuto besak yang terbilang luas dapat menampung ribuan orang.

Sejarah Benteng Kuto Besak

Perang Menteng yang pecah pada tanggal 12 Juni 1819, merupakan bukti dari Ketangguhan benteng Kuto besak, tercatat dalam Syair Perang Menteng yang ditulis oleh Juru tulis pribadi Sultan Mahmud Badaruddin II dalam bahasa Arab Melayu seusai terjadinya Perang Menteng, dalam syair tersebut mengatakan bahwa tak satupun dari peluru-peluru meriam yang ditembakkan oleh belanda mampu menembus dinding dan pintu dari Benteng Kuto Besak. hingga akhirnya Belanda kehabisan peluru juga mesiu dan melarikan diri ke batavia. kemengan gemilang diraih oleh Kesultanan Palembang.

4 bulan kemudian antara tanggal 21-30 oktober 1819, Belanda Kembali Membawa Pasukannya untuk menggempur Palembang, dipimpin langsung oleh Panglima Angkatan Laut Hindia Belanda JC Wolterbeek, dengan Armada dan Pasukan yang berlipat ganda, akan tetapi lagi-lagi Belanda tidak bisa menembus dinding dari Benteng Kuto besak. dan lagi Palembang mendapatkan kemenagan yang Gemilang.

AMPERA

ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi. Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.
Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.[1]
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.[2]
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara.[3] Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).[4]
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.[1]